Cerpen "Semangat di Kala Senja



              Semangat di Kala Senja
             
    Lapangan hijau sangat luas, ditemani rerumputan kecil yang menari kesana-kemari diiringi hembusan angin. Anak-anak yang pulang berlalu lalang setelah berlatih sepak bola. Di sudut kanan lapangan, ada sosok anak laki-laki memakai baju SSB ‘Biru Jaya’ berwarna biru muda selengan dan memakai celana sepak bola selutut. Tak lupa, mengenakan kaos kaki putih yang dipanjangkan sampai ke lutut, dipadukan dengan sepatu 'nike' berwarna merah-hitam, bergaris putih. Ia memiliki tubuh kurus ramping, dengan tinggi sekitar 150 cm. Rambutnya hitam pekat dipotong rapi.
 
Anak laki-laki itu sedang menikmati hembusan oksigen dikala senja, menyandarkan punggungya di batang pohon, lalu duduk dengan pasrah. Menghirup kuat udara melalui batang hidungnya, ditahannya selama lima detik sambil memejamkan mata. Dibuka matanya perlahan, lalu dibuang napasnya dengan kasar.

"Raka," panggilan dengan suara berat , anak laki-laki berjarak dua meter dari pohon rindang, memegangi lututnya yang kelelahan karena telah berlari sampai ngos-ngosan.

Raka, anak laki-laki yang menyandarkan punggungnya melihat sekilas orang yang memanggilnya. Untuk saat ini, Raka tak mau bicara, ia butuh sendiri, berkomunikasi dengan alam di kala teriknya matahari senja.
Anak laki-laki yang tadi berjarak dua meter dari pohon rindang di sudut kanan lapangan, merasa tidak mendapatkan respon dari Raka, ia menghampiri Raka dengan lari kecil-kecilan.

"Raka? Jangan menyerah!" Kalimat itu langsung keluar dari mulut laki-laki berbibir merah tipis, bermata biru, berambut agak pirang, dan berkulit putih. Ia bernama Bagas, ayahnya orang Belanda dan ibunya orang Jawa. Jadi beginilah anaknya, memiliki darah campuran.

Raka hanya menghembuskan napas gusar. Kulit kuningnya mengeluarkan keringat dingin, wajahnya terasa berubah suhu dalam sesaat karena ucapan sahabatnya. Ya, Bagas adalah sahabat terbaik Raka, sekaligus anggota tim SSB’ Biru Jaya’. Tapi tidak untuk saat ini. Dalam beberapa menit yang lalu, Raka bukan lagi anggota tim SSB ‘Biru Jaya’.

"Raka? Jangan diem-diem aja dong! Say hi! Bagas duduk sejajar dengan posisi duduk Raka yang menghadap lapangan. Hem... jangan larut dalam kesedihan secara terus menerus. Terima aja apapun yang telah terjadi," Bagas tersenyum simpul.

    Dalam hati kecil Raka, dia ingin membungkam mulut Bagas agar berhenti bicara, berhenti untuk tidak mengungki-ungkit kejadian beberapa menit lalu. "Hemmm..." Raka hanya berdehem, tangannya melingkar di depan kaki yang ditekuknya. Mata coklat indahnya menyapu rerumputan di bawahnya, tanpa menoleh ke Bagas yang saat ini duduk sejajar di sampingnya.

"Raka... Aku minta maaf." Bagas  memandangi rerumputan dibawahnya, tak menoleh ke Raka yang ada di sampingnya.

"Kenapa?" Tanya Raka dengan heran, karena Bagas nggak membuat kesalahan sama sekali hari ini pada Raka. Kemarin, hubungan mereka juga baik-baik saja. Senyum dan canda tawa terlepas bebas. Justru Raka yang menghancurkan sendiri mimpinya, bukan orang lain.

"Gara-gara aku, kamu dikeluarkan dari tim SSB Biru Jaya. Maaf ya. Bagas menatap pilu sahabatnya. Walaupun Bagas memang tak bersalah," kata maaf tiba-tiba saja lolos dari bibirnya.

Bukan salah kamu.Ini salah aku yang nggak bisa mengendalikan emosi. Raka menjawab dengan nada datar.

"Kamu tahu sejarah Jenderal Soedirman kan?" Bagas bertanya dengan nada yang penuh tekanan. Membuat Raka menaikkan satu alisnya. Raka memang tahu perjuangan Jenderal Soedirman tapi dia tak tahu hubungannya dengan pertanyaan Bagas. Raka merasa nggak nyambung banget. Ibarat kabel yang salah colokan.

Mau nggak mau, daripada Bagas ngambek, Raka menjawab dengan santai, walau hati dan pikirannya sedang tidak karuan, jungkir-balik membimbangkan masa depannya. "Hem.. Iya. Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah tanggal 24 Januari 1916. Soedirman kecil, bersekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) pada tahun 1923 saat berumur tujuh tahun. Status Raden Tjokrosoenarjo soedirman bisa memperoleh pendidikan formal. Di sekolah, ia gemar salah satu olahraga yaitu sepak bola. Ia sangat paham dengan aturan dan tata cara bermain sepak bola." Senyum sinis Raka tak tertahan di bibirnya. Saat ia melontarkan kata 'sepak bola', mengingat dirinya ingin menjadi pemain sepak bola tingkat internasional. Tapi, ia sudah pesimis bahwa mimpi itu tidak akan sampai. Ia hanya bermimpi terlalu tinggi dan tak akan bisa mewujudkannya.

"Jenderal Soedirman dijuluki kaji waktu di sekolahnya karena tekun saat pelajaran agama. Soedirman pernah mengajar dari kisah pewayangan di HIS (Hollandsch-Inlandsche School Muhammadiyah Cilacap, lalu berhenti mengajar demi berjuang." Raka terlihat sendu, saat Jenderal Soedirman berhenti mengajar dari kisah pewayangan. Kisah itu seperti yang dilakukan Ayahnya dulu saat mengajar, tapi sekarang beliau sudah tenang di alam sana.
"Pada tahun 1944, Soedirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) , sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman dan rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun diasingkan ke Bogor. Pada tanggal 19 Desember 1948,  Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman dan sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu.  Saat Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Ia dilarang melanjutkan perlawanan  oleh Presiden Soekarno karena penyakit TBC-nya kambuh, ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta." Raka menceritakan sejarah Jenderal Soedirman dengan api semangat yang menggebu-nggebu. Dikala senja seperti ini, ia juga merasakan senja dalam hatinya. Perlawanan dan perjuangan Soedirman memang tidak main-main. Patut ia contoh dalam kehidupan sehari-hari. Ia sudah sadar, bahwa mimpinya akan terwujud sesuai usaha dan takdir. Jikalau Raka tidak ditakdirkan untuk menjadi pemain bola untuk sekarang atau nanti, Raka yakin bahwa Tuhan akan memilih jalan yang benar untuk Raka.

"Wuih... Hebat kamu bisa menjelaskan sejarah singkat Jenderal Soedirman! Sekarang kamu tahu apa maksudku?" Bagas bertanya pada Raka. Ia berharap bahwa Raka sadar atau peka dengan sejarah Jenderal Soedirman dan kehidupannya.
"Iya... Aku tahu maksud kamu. Jadi, kita harus berjuang sampai titik darah terakhir kan? Tapi," Raka menggantung kalimat terakhirnya, membuat Bagas penasaran.

"Gasss..." Panggil Raka pada 'Bagas' di sampingnya.

"Aku emang pantas dikeluarkan dari tim  SSB Biru Jaya," Wajah Raka berubah lesu 180 derajat."Dan..." Lagi-lagi Raka menggantung kalimatnya, membuat Bagas geram dalam hati.

"Dan aku bukan Jenderal Soedirman yang memiliki semangat tinggi! Aku sama Jenderal Soedirman beda jauh! Bagaikan kota dengan desa. Jenderal Soedirman memiliki semangat juang yang sangat tinggi, sedangkan aku hanya pecahan kaca yang hancur berkeping-keping." Raka tertawa sinis dan hambar. Ia menatap hamparan rumput hijau yang bergoyang ke kanan dan ke kiri disinari senja.

"Kamu nggak boleh ngomong gitu! Mana Raka yang aku kenal selama ini? Kok tiba-tiba hilang begitu aja?" Bagas sangat ingin marah, tapi ia masih berusaha menahan agar sahabatnya membuka matanya lebar. Raka mencerna kata demi kata yang Bagas lontarkan ada benarnya juga.  Di sisi lain, Raka memandang Bagas yang menikmati senja. Sesuai kenyataan memang Bagas adalah keturunan Belanda. Ia sangat tak suka dengan Belanda karena dahulu telah menghancurkan Indonesia, tapi ia harus menerimanya karena dengan Bagas ia bisa tersenyum bahagia kembali.

"Iya iya Bagas. Raka menghembuskan napas lega. Hem... Senja itu memang indah. Tapi kalau ditungguin datangnya lama , jikalau ada cepet banget hilangnya. Intinya aku nggak mau jadi senja yang datang dan indahnya sesaat,  lalu pergi menjadi gelap." Raka mengikuti arah pandangnya Bagas.

"Huem.. Jadilah senja, tapi semangat kita nggak boleh seperti senja. Oke?" Bagas mengisyaratkan sebuah pesan tersirat, bahwa semangat nggak akan pernah bisa padam.

"Siiippp..."  Raka mengangkat kedua jempolnya.Merdeka!!!! Semangat!!! Bagas mengepalkan tangan kannannya. Ia yakin esok nanti, negeri ini akan maju dengan segudang prestasi generasi muda di masa mendatang jika generasi muda memiliki rasa semangat perjuangan.

      Mereka berdua menikmati senja dengan api semangat. Semangat yang tak akan pudar walaupun akan datang gelap. Persahabatan memang nggak selalu mulus, impian juga nggak sealamanya berjalan mulus. Syukuri apa yang ada karena hidup itu anugerah. Tak akan ada kata sia-sia’ jika kita tak menyia-nyiakan. Perjuangan pahlawan menjadi acuan titik kesuksesan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi Singkat Bill Gates

Comparative Degree

Berkenalan dengan Ekstrovert